Fakta

La Nyalla Mattalitti Ingin Jadi Calon Presiden Terhalang Peraturan, Maka Peraturannya yang Perlu Diubah

Published

on

Rencana La Nyalla Mattalitti untuk maju sebagai calon presiden bukan isapan jempol semata. Keinginan itu terus dia kejar dengan berbagai cara. 

Angin segar yang memberinya keberanian La Nyalla untuk maju sebagai calon presiden itu dikarenakan masyarakat kita terlalu permisif atas kesalahan yang pernah dilakukan seorang politikus. 

Sebelumnya, kita ketahui bahwa La Nyalla mempunyai peran untuk mengobrak-abrik PSSI dan membawa pertengkaran Kemenpora saat itu hingga PSSI terkena sanksi oleh FIFA. Karena pertikaian itu membuat PSSI tidak berjalan dengan baik, bahkan kompetisi sepak bola terbelah. Yang dirugikan ya insan sepakbola tanah air. 

La Nyalla juga sempat ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penyimpangan Dana Hibah KADIN dari pemerintah ketika menjadi Ketua Umum KADIN JATIM.

Selama proses hukum, La Nyalla juga tidak punya itikad baik untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dia bahkan sempat kabur ke luar negeri sehari sebelum surat pencekalannya keluar. 

Namun, proses hukum itu selesai dengan banyak pertanyaan karena putusan bebas murni dan tidak terbukti melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan jaksa. 

Putusan tersebut disangsikan sejumlah pihak. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat itu tidak menyangka dengan putusan tersebut. “Karena nggak masuk akal kalau yang bersangkutan bebas,” kata Saut Situmorang, seperti dikutip Tempo, Selasa, 27 Desember 2016. 

Setelah berhasil keluar dari tuntutan, La Nyalla kembali ke kancah perpolitikan. Dia sempat ingin maju sebagai calon gubernur Jatim, namun gagal mendapatkan kendaraan politik. Tak ada parpol yang memberikan kunci buat La Nyalla maju sebagai calon gubernur. 

Setelah kejadian itu, La Nyalla pun pergi dari partai Gerindra. Seperti anak kecil yang keinginannya tak dituruti, La Nyalla menyerang Prabowo Subianto dan partai Gerindra. Dia kemudian beralih ke kubu Jokowi. 

Kegagalan untuk maju sebagai calon gubernur karena tidak memiliki kendaraan dari Parpol tersebut akan menjadi kendala bagi La Nyalla. Kejadian pahit tersebut akan berulang bila Presidential Threshold yang mengatur ambang batas 20% yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih berlaku. 

Ngotot Nyapres

Dengan peraturan tersebut membuat keadaan sulit bagi La Nyalla untuk maju menjadi calon RI 1. Sebab dia setidaknya perlu melakukan lobby kepada beberapa partai untuk mengusungnya menjadi calon presiden. 

Sedangkan La Nyalla sendiri bukan kader sejati dari partai tertentu. Dia lebih banyak ikut ke partai yang memberikan keuntungan secara pribadi bagi dirinya. Setelah tak cocok dengan Gerindra, dia dengan enteng beralih dan sekaligus menjelek-jelekkan Prabowo dan partainya. 

“Presidential Threshold juga menjadi pintu masuk bagi oligarki ekonomi.” Lanjut dia,“ untuk membiayai calon presiden harus mengeluarkan biaya sangat besar untuk membayar ‘mahar’ terhadap gabungan partai-partai,” kata La Nyalla lagi, seperti dikutip detik.com

Padahal, yang dimaksud sebagai mahar untuk calon presiden tidak serta merta ‘uang’ untuk daftar sebagai calon dari partai tertentu. Tetapi seperti mesin pelumas untuk menjalankan mesin politik parpol. 

Atau, seperti yang dikatakan La Nyalla sendiri ketika dipanggil Badan Pengawas Pemilu akibat lontaran kontroversialnya. Mahar itu sebenarnya dana saksi yang tidak bisa diberikannya kepada partai Gerindra. 

Selain itu, banyak partai yang pikir-pikir untuk mengusung La Nyalla sebagai calon presiden, sebab La Nyalla bukanlah sosok yang populer sebagai kandidat presiden. 

Terlebih lagi, di mata publik sosoknya La Nyalla lebih digambarkan sebagai tukang pembuat rusuh PSSI, dekat dengan korupsi, dan sering bertindak seperti preman. 

Ingin Presidential Threshold Dihapus

Sejumlah alasan itu yang membuat La Nyalla Mattalitti memanfaatkan jabatannya sebagai Ketua DPD RI untuk mengakomodir kepentingan pribadinya. 

Dia membawa DPD secara kelembagaan mengajukan judicial review terkait Presidential Threshold 20% yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. 

Gugatan itu tercatat dalam perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) RI. Tercatat Ketua DPD La Nyalla, Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin, Sultan Bachtiar Najamudin sebagai pemohon I. Sedangkankan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal; PBB Afriansyah Noor sebagai pemohon II.

Tatapi, rencana La Nyalla dipupuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya MK menyatakan permohonan pemohon I tidak dapat diterima. Sementara itu, permohonan pemohon II ditolak untuk seluruhnya. 

MK menyatakan tidak menerima permohonan jajaran DPD terkait pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu. 

Menurut MK, pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik. 

Tapi, La Nyalla tidak berhenti di sini. Gagal hapus ambang batas pencalonan presiden, La Nyalla kemudian melontarkan keinginannya untuk mengembalikan fungsi MPR seperti era Orde Baru. Termasuk diantaranya melantik dan memberhentikan presiden.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Trending

Exit mobile version