Connect with us

Fakta

La Nyalla Mattalitti: Ngakunya Negarawan tapi Sifatnya Kekanak-kanakan, Pernah Sumpah Potong Leher Segala

Published

on

Reformasi birokrasi di Indonesia harus benar-benar bersih dari orang-orang seperti La Nyalla Mattalitti. Sifat pengecut dan tak bisa dipegang ucapannya, merupakan catatan buruk birokrasi di Indonesia.

Sifat buruk La Nyalla tercermin dari slogan-slogan yang bombastis dan kekanak-kanakan. Bagaimana tidak, pada Pilpres 2018, La Nyalla tampak getol mendukung Jokowi dan Ma’ruf Amin.

Sebelum menjabat sebagai Ketua DPD RI, La Nyalla dengan lantang siap memotong lehernya bila Prabowo Subianto suaranya bisa unggul di Madura.

Namun, pada penghitungan suara, ternyata suara Prabowo Subianto unggul di Madura.

Sejumlah pihak yang sudah geli dengan ucapan La Nyalla akhirnya menagih, kapan La Nyalla akan potong leher. 

Salah satu yang menagih janji La Nyalla itu adalah Bendahara DPC Partai Gerindra Cabang Pamekasan, Khairul Kalam.

Tapi apa tanggapan La Nyalla? Dengan enteng ia berkelit, tak selantang sebelumnya. Menurutnya konteks janji potong leher hanya untuk membakar semangat simpatisan Jokowi dan Ma’ruf Amin.

“Itu untuk intern kader saya yang di Madura, saya ngomong itu supaya memecut anggota saya agar bekerja keras untuk 01,” kata La Nyalla.

Selanjutnya La Nyalla juga menunjukkan sifat bengisnya, setelah ditagih janji potong leher. Jiwa mantan preman yang sering ia gembor-gemborkan kembali muncul. La Nyalla menyebut, seandainya suara Jokowi dan Ma’ruf Amin unggul di Madura, kepala siapa yang bisa ia potong?

Padahal, saat itu La Nyalla masih menjabat sebagai Kadin Jatim. Ia bukanlah orang jalanan yang bebas berbicara di publik. Mentalitas La Nyalla memang potret buruk birokrasi di Indonesia.

la nyalla kekanak kanakan

“Kalau kemarin yang menang 01 bagaimana? Yang mau saya potong lehernya siapa, enak saja,” katanya.

Jauh sebelum La Nyalla mengucapkan sumpah akan memotong leher, ia merupakan mantan simpatisan Prabowo Subianto saat Pilpres 2014. Saat itu, ia pernah menyebar fitnah bahwa Jokowi merupakan seorang keturunan Tionghoa, Kristen dan PKI.

Baca  La Nyalla Mattalitti Ingin Jadi Calon Presiden Terhalang Peraturan, Maka Peraturannya yang Perlu Diubah

Propaganda fitnah tersebut disebarkan oleh La Nyalla lewat tabloid abal abal bernama Obor Rakyat. Propaganda tersebut ia sebar di masjid-masjid, termasuk di Tanah Madura.

Cara cara licik La Nyalla untuk mencapai tujuan yang ia inginkan memang bengis dan sadis. Satu periode kemudian, pada Pilpres 2018, La Nyalla mengaku kesulitan mengubah kabar hoaks yang telah disematkan pada Jokowi pada 2014. 

Kabar hoaks tentang Jokowi PKI, Kristen dan Tionghoa ternyata juga berkontribusi menumbangkan suara Jokowi dan Ma’ruf Amin di Madura, meski jaminannya kepala La Nyalla sendiri.

Terbaru, di akhir 2022, La Nyalla ingin menjadi presiden lewat cara mengembalikan UUD 45 ke naskah asli, tujuannya agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi di Indonesia. Setelah itu, MPR bisa memilih presiden tanpa proses pemilu.

Jadi, maukah kamu punya pemimpin seperti La Nyalla, apalagi ia maju presiden? Mau jadi apa negeri ini.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fakta

Surat Terbuka Kepada Pak Menkominfo Budi Arie Setiadi

Published

on

Karena Bapak, kampung kami kembali punya masa depan…

Ketika Pak Presiden Jokowi mengangkat Menkominfo baru sekaligus wakilnya, yaitu Pak Budi Arie Setiadi dan Pak Nezar Patria, saya termasuk orang yang pesimistis. Apakah diangkatnya beliau berdua mampu menyelesaikan persoalan yang kami hadapi sebagai orang kampung?

Lebih jelasnya begini. Sudah bertahun-tahun, di berbagai desa mungkin hampir seluruh Indonesia, mengalami masa agak suram. Persoalannya adalah makin maraknya judi online yang merambah cepat ke desa-desa.

Sebagai seorang pendidik, saya merasa sangat gemas. Para tetua kampung, tokoh agama, sudah berkali-kali mencoba merapatkan hal ini dan meminta pertemuan dengan pihak aparat desa, aparat keamanan, dan aparat kecamatan. Tapi tak pernah menghasilkan apa-apa.

Perjudian justru makin marak. Kalau dulu hanya mereka yang sudah dewasa yang memainkannya, lambat laun mulai ke anak-anak remaja, bahkan ke kalangan ibu-ibu dan bapak-bapak tua.

Anak-anak SMP dan SMA, pada main judi online. Itu mudah ditemukan di warung-warung kopi atau di pertigaan maupun perempatan jalan. Tanpa punya rasa takut bahwa mereka sedang melakukan perbuatan melanggar hukum.

Tidak lama kemudian, hal yang tragis pun terjadi. Ibu-ibu di pasar, ikut-ikutan bermain judi slot.

Saya bagikan pengalaman itu di berbagai pertemuan dengan para pendidik lain di satu kabupaten, ternyata fenomenanya sama. Saat saya mengikuti sebuah workshop di tingkat nasional, saya pun mendapati kisah yang sama. Di Jawa Tengah, hampir semua daerah marak. Eh ternyata di Jawa Timur juga. Di Jawa Barat juga. Di Kalimantan dan di Sumatera juga. Kalau begitu, saya menduga ini terjadi mungkin di hampir semua wilayah di Indonesia.

Sebagai pendidik, menurut saya ini punya beberapa lapis dimensi yang dirusak oleh perjudian online.

Pertama, lapis yang paling fundamental yakni mentalitas anak bangsa. Banyak masyarakat berpikir untuk bisa kaya dan mendapatkan uang, cukup dilakukan dengan aktivitas memencet-mencet hape, bermain judi online. Tidak ada istilah “berakit-rakit dahulu, berenang ke tepian”. Tidak ada istilah “No pain, no gain”. Seolah dengan duduk, diam, bermain judi online, mereka akan kaya-raya.

Baca  Jejak Kasus Korupsi La Nyalla Mattalitti

Kemudian lapis kedua adalah hancurnya waktu produktif. Anak-anak remaja, saatnya belajar. Ibu-ibu saatnya ikut pengajian, memasak, atau bekerja. Bapak-bapak saatnya serius mencari nafkah dan menekuni profesi mereka. Tapi waktu produktif itu lenyap karena yang ada di kepala mereka hanya: segera mencari tempat yang ada wifi-nya atau kalau punya paket data, segera bermain judi online.

Sedangkan lapis ketiga adalah menggerus keuangan keluarga. Uang yang mestinya untuk membeli beras, menabung, atau digunakan hal-hal lain yang berfaedah, terbuang percuma. Hilang lenyap ditelan layar monitor hape.

Kami yang punya kesadaran betapa bahayanya judi online tersebut hanya bisa makin bersedih karena aparat penegak hukum pun abai dalam melakukan tindakannya. Bahkan di beberapa desa, sudah ada semacam ‘sindikasi’ dalam circle judi online.

Bukan sesuatu yang susah ditemui, di setiap kecamatan pasti ada puluhan atau bahkan ratusan orang yang menjadi ‘mesin penggerak’ perjudian online. Mereka seperti kebal hukum hanya karena kalau ada acara kampung atau desa, mereka menyumbang banyak uang. Bahkan mungkin juga membungkam dengan memberi setoran kepada aparat penegak hukum. Saya kira itu tidak usah ditutup-tutupi. Borok itu jelas mudah dicium baunya dan dilihat lukanya kalau para pejabat dan politikus mau datang ke kampung-kampung dan mendengarkan serta memperhatikan apa yang terjadi.

Ketika meledak kasus Ferdy Sambo, kami dan para tetua kampung berharap inilah akhir dari malapetaka itu. Alhamdulillah, itu benar-benar terjadi. Tapi sayang, perjudian online yang marak itu hanya berhenti kurang-lebih satu bulan saja. Selebihnya, lambat-laun marak lagi.

budi arie setiadi dan nezar patria

Kami kadang sampai berpikir, apa Pak Bupati, Pak Gubernur, Pak Menteri, Pak Presiden, tidak tahu hal ini? Apa benar Pak Kapolsek, Pak Kapolres, Pak Kapolda, Pak Kapolri, tidak tahu hal ini? Rasanya tidak mungkin.

Baca  Sang Problematik La Nyalla Mattalitti Nyalon Ketum PSSI Tantang Erick Thohir

Harapan kami dengan adanya kasus Ferdy Sambo bisa melenyapkan judi online ini, lenyap seketika.

Jika di kota banyak orang menjadi korban pinjaman online, di desa, banyak orang jadi korban judi online. Banyak anak remaja yang diam-diam menggadaikan sepeda motor yang dibelikan orang tua mereka. Bahkan banyak orang yang minggat dari kampung gara-gara meninggalkan hutang menumpuk, entah itu di saudaranya atau di kawan dekatnya.

Perekonomian desa yang sudah susah payah dikembangkan oleh Presiden Jokowi, hancur-hancuran gara-gara judi online ini.

Jadi wajar, jika Pak Jokowi mengangkat Pak Budi dan Pak Nezar, kami sebagai warga yang peduli dan prihatin tentang persoalan ini, cukup pesimistis. Nama kedua orang ini saja, kami tidak tahu. Mereka juga bukan berlatar-belakang dari aparat penegak hukum. Bisa apa mereka?

 

Tapi di luar dugaan kami, hanya dalam waktu beberapa bulan, gebrakan mereka begitu terasa. Awalnya kami kira hanya hangat-hangat tahi ayam (maaf). Ah, paling hanya sementara karena baru diangkat jadi menteri dan wakil menteri.

Tapi ternyata gebrakan itu makin membesar. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba para komplotan ini seolah tiarap semua dalam jangka waktu yang lama. Begitu mereka tiarap, para bapak-bapak, ibu-ibu, dan anak-anak remaja yang mulai kesurupan bermain judi online juga bingung. Tidak tahu bagaimana lagi memainkannya. Konon katanya, situs-situsnya ditutup atau bagaimana. Intinya, kegiatan itu sudah jauh mereda. Ada satu dua yang masih bermain entah dengan cara bagaimana, tapi itu sedikit sekali.

Maka melalui tulisan ini, kami mewakili orang-orang yang peduli masa depan perekonomian desa, masa depan anak bangsa, masa depan bangsa ini, mengucapkan terimakasih kepada Pak Menteri Budi Arie Setiadi dan wakilnya.

Baca  Tangan Besi La Nyalla Copot Fadel Muhammad: Saya Tak Pernah Diajak Bicara

Semoga bapak berdua diberi kesehatan dan keberanian untuk terus memerangi perjudian online ini. Kami juga berharap ini tidak kendor. Karena kami yakin, begitu kendor lagi, akan muncul kembali seperti saat terjadi kasus Ferdy Sambo.

Mari selamatkan perekonomian desa dan anak muda desa dari gempuran judi online yang merusak.

Maturnuwun. Jayalah Indonesia!

Continue Reading

Fakta

Ingatan Seperempat Abad Reformasi: Aktivis Mahasiswa Jakarta Telat!

Published

on

aktivis reformasi 98

Aku masih ingat sekali, Gerakan mahasiswa radikal tahun 1998 dan sebelumnya tidak pernah memakai istilah REFORMASI. Kata ‘reformasi’ baru populer menjelang akhir tahun 1997 dan terutama awal tahun 1998, sesudah IMF mengajukan syarat bagi bantuan keuangan untuk Rezim Suharto dan mengharuskan apa yang mereka sebut sebagai “reformasi ekonomi dan politik”—sebuah kata lain dari penerapan neo-liberalisme bagi kepentingan modal asing. Istilah REFORMASI sebetulnya tidak lebih dari sebuah PELINTIRAN politik 1998.

Karena kemiskinan wacana, kaum borjuis demokrat –semacam Amin Rais, Gus Dur, Megawati, Sultan Hamengkubuwono X dkk—kemudian mengadopsi istilah ini dalam setiap jargon mereka dan diliput oleh media massa secara luas. Istilah yang masih mencerminkan ketakukan kepada Rezim Diktator, dan penghalusan tuntutan yang dapat digunakan untuk mengelak ketika menghadapi tekanan dan teror dari rezim. Dan juga di-amini oleh Gerakan Mahasiswa di Jakarta 1998.

Perlu dicatat, Gerakan mahasiswa di Jakarta masuk sangat terlambat ke panggung politiki yaitu sekitar bulan Maret-April 1998, terutama dengan lahirnya FORKOT (Forum Kota). Perlu dicatat pula bahwa Forkot lahir dari hasil pengorganisiran dari PRD-SMID bawah tanah yang dimotori oleh Kawan Dwi Hartanto alias Lukas dari IISIP. Ketika itu Lukas bersama dengan Sheilla, mengumpulkan kembali beberapa kontak dari 3-4 kampus untuk diajak demo; lalu mereka berdiskusi di sebuah rumah kontrakan di sebrang kampus IISIP, Lenteng Agung. Demo tidak jadi, karena peserta masih agak takut dan merasa perlu mengajak lebih banyak kampus dan dilanjutkan diskusi selanjutnya di Red House di Margonda. Kemudian dari sana diadakan diskusi lanjutan di Kampus Trisakti, bersama Senat kampus setempat. Setelah itu baru diputuskan untuk mengadakan aksi—cukup panjang prosesnya dan jelas tertinggal dari Gerakan mahasiswa di kota lain seperti Solo yang sudah ke tahap lempar batu di UNS, maupun kota lain di Jogya, bahkan semacam Makassar dan Palu.

Baca  Itulah Karakter Khas Politik PDIP: Membalas Air Susu Dengan Air Tuba (Tanggapan untuk Adian Napitupulu)

Perlu dicarar, ketika itu PRD-SMID memberlakukan komando bawah tanah atau ‘Command’ dan memerintahkan Kawan Lukas untuk kembali ke basis KMK (PDI-P) melanjutkan pengorganisiran yang memang membuat frustrasi, karena minimnya respons mereka untuk terlibat. Dan memang KMK tidak bisa menjadi ujung tombak Gerakan, mereka terlibat hanya ketika sudah ada yang mempelopori. Lalu pengorganisiran Gerakan mahasiswa dipegang langung oleh Kawan Nezar Patria dan tentu didampingi oleh Kawan Andi Arief. Dari kedua tokoh Gerakan mahasiswa dari Jogya inilah dibuat berbagai aksi semacam “aksi mogok makan” di UI, pelibatan demonstrasi dll..

aktivis reformasi mahasiswa 98

Dengan demikian, Gerakan mahasiswa di Jakarta bangkit lagi, kendati agak bangun kesiangan di tengah arus deras massa rakyat yang melawan. (jangan tersinggung ya he he he..)

Kadang saya mengelus dada, bagi mereka yang sekarang mengaku “aktivis 98” apalagi dari Jakarta. Mereka baru terlibat dalam Gerakan bulan Maret/April 1998 (bulan Mei, Suharto sudah lengser), ikut demonstrasi beberapa kali ; dan mungkin aksi heroiknya menduduki Gedung parlemen selama hampir seminggu— lalu sekarang dengan bangga menyebut diri “aktivis 98” ckckckck.. Tapi ya sudahlah, sekarang semua orang boleh saja menyebut dirinya sebagai “aktivis 98” untuk berbagai kepentingan masing-masing. Soal mahasiswa masuk ke Gedung parlemen, mesti kita beri catatan jelas: itu sebuah konsesi yang diberikan oleh rezim pasca-penembakan mahasiswa Trisakti, untuk meredam amarah nasional karena kematian mahasiswa di sana; maka petinggi DPR/MPR membolehkan untuk berdemonstrasi di sana.

Walaupun berbeda namun ada nada serupa, pada peristiwa Mimbar Bebas di kantor DPP PDI di Jl Diponegoro yang adalah hasil dari bentrok di Gambir, dimana kawan Garda terlibat aktif—kemudian rezim memberikan konsesi untuk “boleh berdemonstrasi tapi di dalam DPP PDI saja”. Tujuannya agar gerakan anti-kediktatoran tidak meluas ke masyarakat; yang untungnya secara cerdik dimanfaatkan oleh PRD untuk meradikasilir massa di sana dan juga dalam konteks pengawasan pemilu KIPP serta pembentukan Pemerintahan Transisi. Maka tuduhan rezim bahwa PRD adalah dalang dalam peristiwa itu, ada benarnya juga.

Baca  La Nyalla Mattalitti Kuasai PSSI Demi Modal Politik Pribadi

Tentu bukan bermaksud mengecilkan peran Gerakan mahasiswa (aktivis) ‘98 di Jakarta, sebagai pusat politik -ekonomi Indonesia. Setiap kota pasti ada perannya, Jakarta juga berperan dengan terjadinya peristiwa Semanggi 1 dan 2 yang memberikan warna berbeda bagi Gerakan Mahasiswa secara keseluruhan.

Nah jelas bahwa reformasi bukanlah istilah yang dikenal oleh Gerakan Radikal tahun 1998 dan sebelumnya yang dengan jelas dan gamblang menuntut:

  • Cabut 5 UU politik
  • Cabut Dwi Fungsi ABRI
  • Turunkan Suharto
  • Turunkan harga
  • Upah 7 ribu
  • Referendum untuk Timor Leste
  • Penentuan Pendapat Sendiri untuk Papua
    dll

Memang, menjelang dan pasca-lengsernya Suharto, istilah ‘reformasi’ juga dipakai oleh Rezim dan oleh para demokrat borjuis dan semua media massa serta beberapa Gerakan mahasiswa: maka populerlah istilah ini, yang sebetulnya mencerminkan kesadaran massa rakyat yang masih terilusi tsb.
Melihat keadaan inilah maka, Gerakan Radikal Kerakyatan kala itu memutuskan untuk memajukan tuntutan tersebut menjadi “Reformasi Total”, menghabisi “Reformis Gadungan dan Sisa ORBA”. Hal itu terjadi pasca-lengsernya Soeharto pada Mei 1998 terutama saat tahun 1999 —momen pemilu–yang saat itu juga diwarnai berbagai demonstrasi anti-Golkar.

Ini sekadar kisah dari masa lalu mengenai istilah “reformasi”dan juga “aktivis Reformasi 98”…

(Jakarta 31 Mei 1998, 25 tahun setelah peristiwa tersebut terjadi)


Penulis adalah Aktivis 98

Continue Reading

Fakta

Itulah Karakter Khas Politik PDIP: Membalas Air Susu Dengan Air Tuba (Tanggapan untuk Adian Napitupulu)

Published

on

pdi perjuangan

Jokowi berbeda dengan Joko Tingkir. Bila Joko Tingkir masih keturunan darah biru sehingga wajar menjadi Sultan Pajang, Jokowi bisa dikatakan keturunan Lembu Peteng. Seperti diketahui, Lembu Peteng untuk menggambarkan garis keturunan yang misterius. Sampai sekarang masih banyak yang memperdebatkan tentang sosok ayah Jokowi. Sederet tokoh Lembu Peteng dari Ken Arok sampai Soeharto pernah sebagai penguasa. Sosok Lembu Peteng inilah yang tidak dipahami anak kota seperti Adian Napitupulu. Tak mengherankan ia mendaku lima kali kemenangan Jokowi karena PDIP.

Jokowi lahir dari keluarga biasa-biasa saja, tak ada darah biru menetes dalam dirinya. Orangtuanya bisa digolongkan bagian dari Abangan, dibanding Santri atau Priyayi.
Dalam masyarakat di pedesaan, kaum Abangan ini cukup banyak walaupun tidak pernah unjuk diri. Sebagaimana disampaikan Geertz dalam bukunya yang melegenda “The Religion of Java”, kaum abangan merupakan entitas masyarakat “yang mewakili suatu titik berat pada aspek animistis dari sinkritisme Jawa”. Mereka ini dalam masyarakat sebagian besar adalah kaum petani yang hidup di pedesaan. Jokowi hidup dalam kultur Abangan seperti itu.

Sebagai bagian dari kaum Abangan, Jokowi tumbuh menjadi borjuasi. Pendidikan di universitas mendorongnya tumbuh menjadi borjuasi lokal pada zaman Orde Baru. Bila sebagian borjuasi di Indonesia mempunyai koneksi dengan kekuasaan rezim Soeharto, Jokowi tumbuh di luar lingkaran itu.

Sebagai pengusaha mebel ia membangun basis ekonominya dan membangun jaringan perkawanan. Ketika maju dalam pilkada Solo, ia bukan politikus. Kemampuan negoisasinya ditempa ketika ia sebagai pengusaha. Sebagai Abangan, ia mampu mengkonsolidasikan kelompok Santri perkotaan yaitu PKS dan kelompok Kristen Perkotaan yang terwadahi oleh PDS. Jadi tak benar jika hanya PDIP yang membawananya dua kali kemenangan dalam Pilkada Solo.

Baca  Rakyat dan Parpol Tak Ingin La Nyalla Mattalitti Maju sebagai Calon Gubernur Jawa Timur 2018

Dari Solo inilah ia mulai membangun citra dirinya sebagai borjuasi yang luwes dalam berpolitik. Ia tampil sebagai kepala daerah ditingkat lokal yang mengedapakan negoisasi dan diolog dalam menata kotanya. Salah satu contohnya adalah pemindahan pedagang kaki lima di Monumen 45 Banjarsari. Lewat 57 kali upaya dialog lewat makan siang akhirnya pemindahan PKL bisa dilakukan dengan damai. Sebagai Abangan, Jokowi tidak melupakan tradisi. Sebagaimana pemindahan ibu kota Surakarta dari Kertasura ke Solo, Jokowi menggelar arak-arakan dalam pemindahan PKL tersebut. Dengan begitu para PKL merasa diperlakukan sebagai manusia terhormat.

Sebagai walikota, Jokowi berani berhadapan dengan pemimpin di atasnya dalam membela kepentingan warganya. Ia menolak rencana Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo dalam rencana pembangunan mal dibekas pabrik es Saripetojo. Penolakan Jokowi untuk membatasi maraknya pasar modern dan melindungi pasar tradisional. Sebagai seorang pensiunan jendral, tentu Bibit Waluyo bereaksi keras. Sebagai Abangan, Jokowi menghadapi serangan tersebut tidak dengan frontal, melainkan dengan sikap “andhap asor” / rendah hati dengan memangku Bibit Waluyo. Sikap seperti ini menimbulkan simpati publik. Sebagai anak kota, Adian Napitupulu tak akan bisa memahami hal seperti itu. Karena apa? Tangannya bersih dari lumpur tanah petani dan tak pernah bersuka cita seperti anak-anak kampung melihat bulan purnama.

Kemenangan dalam Pilkada Jakarta dan Pilpres hanya masalah waktu saja. Wahyu keprabon sudah menaunginya. Pilkada Jakarta jelas bukan peran PDIP semata. Ada peran Jendral penunggang kuda, Prabowo Subianto, yang selalu menjadi bahan serangan Adian yang hanya muncul setiap lima tahun sekali. Gerindra merupakan penyokong utama Jokowi dalam Pilkada Jakarta. Entah mengapa saat Prabowo mendukung Jokowi, Adian sebagai aktivis sejati tidak berteriak lantang agar Jokowi menarik garis tegas dengan Prabowo sebagai jendral Orde Baru. Sepertinya saat itu mulut Adian sedang terkunci entah oleh apa.

PDI Perjuangan

PDI Perjuangan

Momen Pilkada sebetulnya bukan momentum parpol, tetapi momentum kemunculan relawan. Munculnya relawan baju kotak kotak merupakan hal baru dalam perpolitikan Indonesia. Bukan struktur partai yang bergerak, melainkan struktur relawan. Partai hanya pemegang stempel semata, sementara relawanlah yang melakukan pengorganisian di basis massa. Ini pula modal Jokowi memenangkan dua kali memenangkan Pilpres. Relawan adalah sekoci-sekoci Jokowi untuk mengantarkannya menuju Istana. Dalam Pilpres, suara Jokowi 2 kali lipat suara PDIP dalam Pileg. Sekali lagi, peran PDIP hanya memberikan stempel belaka. Bila PDIP tidak mendukung sekalipun, Jokowi akan tetap melenggang ke Istana. Seorang yang telah dinaungi wahyu keprabon tidak bisa dihambat oleh siapapun, apalagi hanya seorang aktivis sejati seperti Adian Napitupulu.

Baca  La Nyalla Mattalitti Kuasai PSSI Demi Modal Politik Pribadi

Berkebalikan dengan Jokowi, Megawati kalah melulu. Ia jelas bukan keturunan Lembu Peteng. Ada trah darah biru di darahnya. Dalam Pilpres 1999, Megawati dikalahkan oleh Gus Dur ( yang menurut Gus Dur sendiri memiliki trah Lembu Peteng). Seperti Jokowi, Gus Dur lebih piawai menggalang kekuatan politik di Senayan dibandingkan Megawati. Akibatnya, Megawati kalah telak dan diberi “hadiah” menjadi wakil presiden. Dan, Megawati kelak menjadi presiden karena warisan dari Gus Dur. Terbukti, ketika ia harus memperebutkan sendiri jabatan presiden, dua kali ia disleding oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Bila PDIP kuat sebagaimana didaku Adian, tentu akan bisa dengan mudah bisa mengalahkan SBY. Menariknya, ketika dua kali kalah dari SBY, Megawati berpasangan dengan Prabowo. Dan Adian diam dua ribu kata sehingga tidak mengingatkan Megawati agar tidak perpasangan dengan jendral pelanggar HAM seperti Prabowo. Mungkin saat itu kaset Adian sedang rusak sehingga tidak bisa diputar.

Tiga kali kekalahan Megawati ini merupakan hal yang memalukan dalam sejarah PDIP. Sebagai partai yang mendaku kuat secara ideologi, politik dan organisasi sertai konon sebagai partai wong cilik, tak mampu mengantarkan Ketua Umumnya menjadi presiden. Untung muncul sosok Jokowi yang mampu menyelamatkan PDIP sehingga menutupi kemaluan Banteng Moncong Putih. Tanpa ada Jokowi, PDIP akan tetap di pojok kekuasaan, sebagai partai yang tak pernah mampu menaikkan Ketua Umumnya sebagai presiden, hingga hari ini. Bukan PDIP yang berjasa kepada Jokowi, namun Jokowilah yang berjasa buat PDIP. Dan balasan terhadap jasa Jokowi tersebut justru pengkhianatan terhadap Jokowi, yang terannyar adalah pengkhianatan dalam penyelenggaran Piala Dunia U 20.

Itulah karakter khas politik PDIP: membalas air susu dengan air tuba. Inilah yang dibanggakan setinggi langit 7 oleh aktivis sejati Adian Napitupulu. *

Baca  Jejak Kasus Korupsi La Nyalla Mattalitti

Continue Reading

Trending